Nasional, Yogyakarta -Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta menggelar sidang mantan Kepala Badan SAR Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta Waluyo Raharjo, 49 tahun dan Diaz Aryanto, 36 tahn, calo tanah. Keduanya didakwa korupsi uang pembelian lahan 6.000 meter persegi untuk pos SAR di Gunung Kidul senilai Rp 5,8 miliar.

Ternyata, supaya tidak ketahuan meminta jatah uang pembelian, Waluyo pura-pura membuat surat pernyataan bahwa dia menitipkan uang Rp 1,5 miliar uang kepada Diaz. Ternyata itu hanya sebagai modus untuk mendapatkan commitment fee dari calo tanah itu. 

"Terdakwa membuat perjanjian seolah-olah menitipkan uang Rp 1,5 miliar kepada Diaz, tetapi tidak ada uang yang diserahkan," kata jaksa Sunarwan, saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta, Kamis, 12 Januari 2017.
Baca juga:
KPK Masih Dalami Dugaan Korupsi Pemilihan Rektor

 

Surat perjanjian seolah-olah tersangka menitipkan uang untuk bisnis itu dibuat pada 1 Desember 2015 yang lalu. Saat itu proses pembelian lahan sudah mulai survai kelayakan untuk pos SAR (search and rescue). Surat perjanjian itu dibuat di rumah Diaz di Bantul.

Pada 2015, basarnas Daerah Istimewa Yogyakarta akan membuat pos penyelamatan di Gunung Kidul. Saat tim mencari lahan, ada dua lahan yang layak dijadikan pusat kendali penyelamatan itu. Yaitu di Jalan Wonosari-Karangmojo Gunung Kidul kilometer 8. 

Dua lahan itu seluas 6.000 meter persegi milik Istuti Sih Hartini seluas 3.779 meter persegi dan Jaka Suprihana seluas 2.221 meter persegi. Saat survei, tersakwa dan tim Pejabat Pembuat Komitmen ditemui oleh Diaz karena tahu lahan milik kedua orang itu.

Pada November 2016, dibuatlah kesepakatan pembelian lahan melalui Diaz. Karena terdakwa Waluyo meminta Diaz sebagai pihak yang akan menjual lahan.

Menurut jaksa, anggaran untuk pembelian lahan sebesar Rp 6,1 miliar. Harga lahan disepakati Rp 750 ribu per meter. Jika anggaran itu turun maka calo tanah ini masih dapat untung. Untung dari penjualan lahan itulah yang diminta oleh terdakwa Waluyo. Keuntungan Diaz bisa jadi dari imbalan pemilik lahan.

Panitia pengadaan lalu melengkapi dokumen-dokumen administrasi pengadaan tanah. Dokumen itu dibuat secara formalitas, karena panitia mendengar ada pengkondisian oleh terdakwa. Pada 23 November 2015 dilakukan penandatanganan pengikatan jual beli tanah antara panitia dengan Diaz.

Padahal, saat itu terdakwa Diaz belum memberikan dokumen yang berkaitan dengan kepemilikan tanah. Bahkan panitia juga menyarankan untuk membatalkan kesepakatan. 

Namun, kata jaksa terdakwa Waluyo tetap memerintahkan Pejabat Pembuat Komitmen untuk memproses pembayaran ke Diaz karena mengaku sudah kenal baik dengan keluarganya. Pada 30 Desember 2015, Basarnas membayar ke terdakwa Diaz sebesar Rp 5,835 miliar. 

Setelah uang diterima, ternyata terdakwa Waluyo meminta uang Rp 60 juta kepada Diaz. Pada awal Januari 2016, terdakwa kembali minta Rp 100 juta. Pada bulan berikutnya, terdakwa kembali minta kekurangan uang imbalan sesuai yang telah disepakati total Rp 1,5 miliar.

"Permintaan itu tidak pernah ditanggapi oleh Diaz," kata Sunarwan.

Uang yang telah diserahkan ke Diaz itu tidak pernah sampai ke pemilik lahan kecuali uang muka sebesar Rp 550 juta kepada Istuti, salah satu pemilik lahan. Namun, uang sebesar itu dimanfaatkan oleh Diaz untuk berbisnis usaha lain dan berfoya-foya.

MUH SYAIFULLAH

Simak juga:
Diperiksa Kasus E-KTP, Anas Dititipkan di Rutan Guntur